Jakarta, Indonesia – Pernahkah Anda merasa iri melihat teman atau kerabat yang porsi makannya seolah tak terbatas, namun lingkar pinggangnya tetap ramping? Fenomena ini sering kali memicu pertanyaan besar dan rasa penasaran: “Kok bisa, sih, makan sebanyak itu tapi badannya tetap segitu-segitu saja?” Sementara sebagian dari kita harus menghitung setiap kalori yang masuk, mereka tampak menikmati hidup tanpa khawatir jarum timbangan bergeser ke kanan.
Banyak yang menduga ini semua hanya soal “bawaan lahir” atau “keturunan”. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sesederhana itu. Di balik anugerah yang tampak seperti keajaiban ini, terdapat serangkaian penjelasan ilmiah yang kompleks, melibatkan kombinasi faktor genetika, metabolisme, gaya hidup, hingga peran mikroorganisme tak kasat mata di dalam usus kita.
Mari kita kupas tuntas rahasia di balik fenomena “makan banyak tapi tidak gemuk” dari kacamata jurnalistik dan sains.
1. Mesin Pembakar Kalori Pribadi: Peran Metabolisme Basal (BMR)
Setiap individu memiliki mesin pembakar kalori internal yang bekerja 24 jam sehari, bahkan saat kita tidur. Mesin ini dikenal sebagai Basal Metabolic Rate (BMR) atau Laju Metabolisme Basal. BMR adalah jumlah energi (kalori) yang dibutuhkan tubuh untuk menjalankan fungsi-fungsi paling mendasar, seperti bernapas, memompa darah, mengatur suhu tubuh, dan memperbaiki sel.
Orang dengan BMR tinggi secara alami membakar lebih banyak kalori saat istirahat dibandingkan mereka yang memiliki BMR lebih rendah. Inilah salah satu kunci utama. Bayangkan dua orang dengan berat badan sama, yang satu memiliki BMR 1.800 kalori dan yang lainnya 1.400 kalori. Orang pertama “diberi jatah” 400 kalori ekstra setiap hari yang bisa ia konsumsi tanpa mengalami kenaikan berat badan.
“Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, massa otot, dan genetika sangat memengaruhi BMR seseorang. Pria dan individu dengan massa otot yang lebih besar cenderung memiliki BMR yang lebih tinggi karena otot membakar lebih banyak kalori daripada lemak, bahkan saat tidak beraktivitas,” jelas dr. Amanda Putri, seorang ahli gizi klinis di Jakarta.
2. Lotre Genetik: DNA yang Membentuk Postur Tubuh
Tidak bisa dipungkiri, faktor keturunan memegang peranan signifikan. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa genetika dapat memengaruhi hingga 40-70% kecenderungan berat badan seseorang. Gen-gen tertentu dapat mengatur nafsu makan, rasa kenyang, metabolisme, distribusi lemak, dan kecenderungan untuk makan berlebihan sebagai respons terhadap stres.
Beberapa orang secara genetik memang terlahir dengan “metabolisme cepat” atau tubuh yang secara alami lebih efisien dalam mengelola energi. Mereka mungkin memiliki varian gen yang membuat tubuh mereka kurang efisien dalam menyimpan kelebihan kalori sebagai lemak dan lebih cenderung mengubahnya menjadi panas. Ini menjelaskan mengapa dalam satu keluarga, bisa terdapat perbedaan postur tubuh yang drastis meskipun pola makannya serupa.
3. Gerak Tak Sadar yang Membakar Kalori: Kekuatan NEAT
Saat kita berpikir tentang membakar kalori, yang terlintas biasanya adalah olahraga terstruktur seperti lari, angkat beban, atau senam. Namun, ada komponen lain yang sering terabaikan namun kontribusinya sangat besar: Non-Exercise Activity Thermogenesis (NEAT).
NEAT adalah energi yang kita gunakan untuk semua aktivitas yang bukan tidur, makan, atau olahraga formal. Ini mencakup kegiatan sehari-hari seperti berjalan ke warung, naik turun tangga, mengetik, gelisah saat duduk (menggerakkan kaki), bahkan sekadar berdiri saat bekerja.
Orang yang secara alami aktif dan tidak bisa diam cenderung memiliki tingkat NEAT yang jauh lebih tinggi. Perbedaan pengeluaran kalori dari NEAT antar individu bisa sangat signifikan, mencapai ratusan hingga ribuan kalori per hari. Jadi, teman Anda yang tampak makan banyak mungkin sebenarnya juga membakar kalori dalam jumlah besar melalui aktivitas-aktivitas kecil yang tidak ia sadari sepanjang hari. Mereka mungkin lebih sering memilih tangga daripada lift, lebih banyak berjalan kaki, atau sekadar tidak bisa duduk diam untuk waktu yang lama.
4. Bukan Hanya Soal ‘Berapa’, Tapi ‘Apa’ yang Dimakan
Kualitas makanan memegang peranan yang sama pentingnya dengan kuantitas. Dua jenis makanan dengan jumlah kalori yang sama bisa memberikan dampak yang sangat berbeda pada tubuh. Orang yang terlihat makan banyak mungkin secara tidak sadar memilih jenis makanan yang lebih mengenyangkan dan membutuhkan lebih banyak energi untuk dicerna.
- Efek Termal Makanan (Thermic Effect of Food/TEF): Tubuh memerlukan energi untuk mencerna, menyerap, dan memetabolisme nutrisi. Protein memiliki TEF tertinggi. Sekitar 20-30% kalori dari protein yang dikonsumsi akan digunakan untuk proses pencernaannya. Bandingkan dengan karbohidrat (5-10%) dan lemak (0-3%). Seseorang yang dietnya kaya protein akan membakar lebih banyak kalori hanya dari proses pencernaan.
- Tingkat Kepadatan Kalori dan Serat: Mereka mungkin banyak mengonsumsi makanan bervolume besar namun rendah kalori, seperti sayuran, buah-buahan, dan sup. Makanan tinggi serat juga membuat kenyang lebih lama, sehingga meskipun porsinya terlihat besar, total asupan kalori hariannya mungkin tidak sebanyak yang kita kira.
5. Tentara Tak Terlihat di Usus: Peran Mikrobioma
Penelitian dalam dekade terakhir telah mengungkap peran luar biasa dari mikrobioma usus—triliunan bakteri dan mikroorganisme lain yang hidup di saluran pencernaan kita—terhadap berat badan. Komposisi mikrobioma setiap orang unik, layaknya sidik jari.
Bakteri usus yang beragam dan seimbang dapat memengaruhi cara tubuh kita memanen energi dari makanan, mengatur peradangan, dan bahkan memproduksi hormon yang mengontrol rasa lapar dan kenyang (seperti ghrelin dan leptin). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang kurus cenderung memiliki komunitas bakteri usus yang lebih beragam dibandingkan orang dengan obesitas. Bakteri ini mungkin lebih efisien dalam membantu tubuh mengelola gula darah dan lemak.
Kesimpulan: Kombinasi Kompleks, Bukan Sihir
Jadi, rahasia di balik orang yang makan banyak tapi tidak gemuk bukanlah sihir, melainkan sebuah interaksi kompleks dari berbagai faktor. Mereka adalah pemenang “lotre genetik” yang dianugerahi metabolisme basal yang tinggi. Gaya hidup mereka, yang mungkin tanpa sadar dipenuhi dengan aktivitas fisik non-olahraga (NEAT), turut membakar kalori secara signifikan.
Selain itu, pilihan makanan mereka mungkin cenderung kaya protein dan serat, serta mereka didukung oleh komunitas mikrobioma usus yang sehat. Dalam beberapa kasus yang lebih jarang, kondisi medis seperti hipertiroidisme (kelenjar tiroid yang terlalu aktif) juga bisa menjadi penyebabnya.
Meskipun kita tidak bisa mengubah faktor genetik, kita bisa belajar dari fenomena ini. Fokuslah pada hal-hal yang bisa kita kontrol: meningkatkan massa otot melalui latihan beban untuk mendongkrak BMR, memperbanyak aktivitas NEAT dengan lebih sering bergerak, memilih makanan utuh yang kaya nutrisi, serta menjaga kesehatan usus. Karena pada akhirnya, kesehatan yang optimal jauh lebih berharga daripada sekadar angka di timbangan.