Di tengah riuh rendah suara tawa anak-anak yang dianggap sebagai pelengkap kebahagiaan sebuah keluarga, ada sebuah pilihan hidup yang semakin sering terdengar namun masih kerap dibisikkan dengan nada sangsi: childfree. Sebuah istilah untuk keputusan sadar individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak. Di Indonesia, di mana adagium “banyak anak banyak rezeki” pernah begitu mengakar, pilihan ini sering kali membentur tembok stigma dan serangkaian mitos yang salah kaprah.
Cap “egois”, “menyalahi kodrat”, hingga tudingan “pasti menyesal” menjadi makanan sehari-hari bagi mereka yang menempuh jalan ini. Namun, benarkah pilihan childfree sesederhana dan sepicik itu? Apakah ini murni tentang keegoisan, atau ada lapisan-lapisan alasan yang lebih dalam dan personal yang sering luput dari pemahaman kita?
Sudah saatnya kita berhenti menghakimi dari permukaan. Mari kita bedah dan bongkar lima mitos paling sesat yang selama ini melekat pada pilihan hidup childfree.
Mitos 1: Orang Childfree Itu Egois dan Benci Anak-Anak
Ini adalah mitos paling klasik dan paling menyakitkan. Logika sederhana yang sering digunakan adalah: “Kalau tidak mau repot mengurus anak, berarti kamu hanya memikirkan diri sendiri.” Stigma ini muncul dari pandangan bahwa memiliki anak adalah bentuk pengorbanan tertinggi dan puncak dari ketidakegoisan.
Faktanya: Justru sebaliknya. Banyak individu childfree mengambil keputusan ini setelah melalui perenungan yang sangat mendalam dan bertanggung jawab. Mereka sadar bahwa menjadi orang tua adalah komitmen seumur hidup yang menuntut kesiapan mental, finansial, dan emosional yang luar biasa. Memilih untuk tidak memiliki anak ketika merasa tidak mampu atau tidak menginginkan tanggung jawab sebesar itu adalah bentuk keegoisan? Atau, sebuah tindakan welas asih untuk tidak membawa seorang anak ke dunia dalam kondisi yang tidak ideal?
Selain itu, tidak ingin menjadi orang tua sama sekali tidak identik dengan membenci anak-anak. Banyak dari mereka yang memilih childfree adalah paman dan bibi yang paling seru, guru yang berdedikasi, atau donatur setia untuk panti asuhan. Mereka bisa mencintai dan berkontribusi pada kebahagiaan anak-anak di sekitar mereka, tanpa harus menjadi orang tua biologisnya. Pilihan mereka bukan tentang kebencian, melainkan tentang pengenalan diri dan batas kemampuan.
Mitos 2: Keputusan Sesaat yang Pasti Akan Disesali di Hari Tua
“Nanti kalau sudah tua, kamu pasti menyesal.” Kalimat ini bak mantra wajib yang sering dilontarkan untuk ‘menasihati’ mereka yang childfree. Ada asumsi bahwa pilihan ini diambil karena dorongan emosi sesaat saat masih muda dan produktif, dan penyesalan pasti datang saat kesepian melanda di usia senja.
Faktanya: Bagi sebagian besar penganut childfree, ini bukanlah keputusan impulsif. Ini adalah hasil dari proses pemikiran bertahun-tahun, diskusi mendalam dengan pasangan (jika berpasangan), dan perencanaan hidup yang matang. Mereka telah mempertimbangkan berbagai skenario masa depan, termasuk masa tua.
Penelitian sosiologis menunjukkan bahwa kebahagiaan di hari tua tidak semata-mata ditentukan oleh kehadiran anak. Kualitas hubungan sosial, kesehatan finansial, kesehatan fisik, dan adanya hobi atau tujuan hidup menjadi faktor yang jauh lebih signifikan. Orang childfree sering kali lebih proaktif dalam membangun jaringan pertemanan yang kuat, merencanakan dana pensiun dengan cermat, dan mengisi hidup mereka dengan passion yang memberikan makna, sehingga “kesepian” menjadi risiko yang bisa dimitigasi, sama seperti pada orang tua yang anak-anaknya mungkin sibuk dengan kehidupannya sendiri.
Mitos 3: Perempuan yang Childfree Telah Menyalahi Kodratnya
Tekanan terbesar dari pilihan childfree sering kali menimpa perempuan. Masyarakat patriarkal sering kali mengidentikkan esensi menjadi perempuan dengan kemampuan dan keinginan untuk melahirkan dan menjadi seorang ibu. Perempuan yang memilih jalan berbeda dianggap “tidak sempurna” atau “menyalahi kodrat”.
Faktanya: Mendefinisikan “kodrat” perempuan hanya sebatas fungsi reproduksi adalah sebuah penyederhanaan yang merendahkan. Perempuan adalah individu utuh dengan akal, cita-cita, dan hak otonomi atas tubuhnya sendiri. Kodrat seorang manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, untuk berkarya, untuk memberi dampak pada lingkungan dengan caranya masing-masing.
Menjadi ibu adalah salah satu jalan mulia, tetapi bukan satu-satunya jalan. Seorang perempuan bisa menemukan pemenuhan diri dan memberikan kontribusi besar bagi dunia melalui kariernya, karya seninya, aktivitas sosialnya, atau dengan menjadi partner yang suportif bagi pasangannya. Memaksakan satu narasi tunggal tentang “kodrat” adalah bentuk pengekangan terhadap potensi perempuan yang tak terbatas.
Mitos 4: Pernikahan Tanpa Anak Pasti Hampa dan Mudah Bubar
Anak sering disebut sebagai “perekat” dalam pernikahan. Tanpa kehadiran anak, sebuah hubungan dianggap kurang memiliki tujuan bersama, hampa, dan rentan terhadap perpisahan.
Faktanya: Anak memang bisa membawa kebahagiaan, tetapi juga bisa menjadi sumber stres dan konflik terbesar dalam pernikahan jika tidak dikelola dengan baik. Sebaliknya, banyak pasangan childfree melaporkan tingkat kepuasan hubungan yang sangat tinggi. Mereka memiliki lebih banyak waktu, energi, dan sumber daya untuk diinvestasikan langsung pada hubungan mereka.
Komunikasi menjadi lebih intens, mereka bisa bepergian bersama, mengejar hobi bersama, dan fokus untuk tumbuh sebagai individu dan sebagai pasangan. Ikatan mereka dibangun murni di atas fondasi cinta, persahabatan, dan tujuan hidup bersama, bukan karena “terikat” oleh tanggung jawab anak. Pernikahan yang kuat tidak diukur dari jumlah anggota keluarga, melainkan dari kualitas koneksi emosional antar pasangan.
Mitos 5: Tidak Akan Ada yang Merawat Saat Tua Nanti
Ini adalah turunan dari mitos penyesalan, namun lebih fokus pada aspek pragmatis: jaminan perawatan di hari tua. Anak dianggap sebagai investasi jangka panjang, sebuah jaminan bahwa akan ada yang mengurus kita saat fisik tak lagi berdaya.
Faktanya: Menganggap anak sebagai jaminan perawat di hari tua adalah pandangan yang problematis dan, terus terang, egois. Pertama, tidak ada jaminan bahwa anak akan mampu atau bahkan mau merawat orang tuanya. Mereka punya kehidupan, pekerjaan, dan keluarga sendiri yang mungkin berlokasi jauh. Kedua, membebankan ekspektasi ini pada anak bisa menjadi sebuah tekanan yang tidak adil.
Individu childfree yang bijaksana justru tidak menggantungkan nasibnya pada orang lain. Mereka merencanakan masa tua mereka dengan sangat serius. Mereka mempersiapkan dana pensiun, asuransi kesehatan jangka panjang, investasi, dan bahkan menjajaki opsi tinggal di panti wreda berkualitas atau komunitas senior yang aktif. Mereka membangun kemandirian finansial dan sosial untuk memastikan masa tua mereka terjamin, aman, dan tetap bermartabat, tanpa harus menjadi beban bagi siapa pun.
Kesimpulan: Hormati Setiap Jalan yang Dipilih
Pada akhirnya, memilih untuk memiliki anak atau tidak adalah salah satu keputusan paling personal dalam hidup. Tidak ada pilihan yang secara inheren lebih superior dari yang lain. Keduanya memiliki kebahagiaan, tantangan, dan konsekuensinya masing-masing.
Menghakimi pilihan childfree sebagai bentuk keegoisan adalah cerminan dari ketidakmampuan kita untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Ini bukan tentang egois, ini tentang jalan hidup yang berbeda. Jalan yang dipilih berdasarkan kesadaran diri, pertimbangan matang, dan hak fundamental setiap manusia untuk merancang kehidupannya sendiri. Tugas kita sebagai masyarakat adalah menawarkan empati dan dukungan, bukan stigma dan penghakiman.