Berita

Apa Sebenarnya Arti Flexing? Fenomena Pejabat Pamer yang Bikin Publik Geram

72

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “flexing” semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini awalnya populer di kalangan anak muda di media sosial, khususnya TikTok dan Instagram, sebagai ungkapan untuk menunjukkan gaya hidup glamor, kepemilikan barang mewah, hingga pencapaian pribadi. Namun, belakangan istilah ini bergeser ke ranah yang lebih serius: perilaku sejumlah pejabat publik yang ketahuan memamerkan harta benda secara berlebihan. Fenomena ini memicu perdebatan publik, memunculkan rasa geram, sekaligus menimbulkan pertanyaan mendasar: apa sebenarnya arti flexing, dan mengapa ia menjadi isu penting dalam konteks pejabat negara?


Definisi Flexing: Dari Slang ke Perilaku Sosial

Secara harfiah, kata flex dalam bahasa Inggris berarti “membengkokkan” atau “memamerkan otot”. Dalam slang kontemporer, flexing digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memamerkan kekayaan, gaya hidup, atau status sosial secara terang-terangan.

ADS

Di Indonesia, makna ini melekat terutama pada aktivitas di media sosial. Mulai dari menampilkan tas bermerek, kendaraan mewah, rumah megah, hingga liburan ke luar negeri, semua bisa masuk kategori flexing. Pada level masyarakat umum, flexing sering dianggap sekadar tren gaya hidup digital. Namun, ketika yang melakukannya adalah pejabat publik, maknanya berubah drastis—dari sekadar gaya hidup menjadi persoalan moral, etika, dan bahkan hukum.


Fenomena Flexing di Kalangan Pejabat

Kasus pejabat pamer kekayaan bukanlah hal baru. Beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh banyak temuan di media sosial: pejabat yang berpose dengan koleksi mobil antik, mengenakan jam tangan ratusan juta rupiah, hingga keluarganya yang rutin mengunggah gaya hidup penuh kemewahan.

Fenomena ini memantik kritik keras karena pejabat publik seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan memperlihatkan gaya hidup yang kontras dengan kondisi masyarakat luas yang masih berjuang melawan kemiskinan. Akibatnya, flexing pejabat bukan hanya dianggap tidak etis, tetapi juga menimbulkan kecurigaan soal asal-usul kekayaan.


Mengapa Publik Geram?

Ada beberapa alasan utama mengapa fenomena flexing pejabat menimbulkan reaksi keras di masyarakat:

  1. Ketimpangan sosial yang mencolok
    Ketika mayoritas rakyat menghadapi tekanan ekonomi, harga kebutuhan pokok naik, dan pekerjaan sulit didapat, pamer kemewahan pejabat terasa menampar wajah publik.
  2. Pertanyaan tentang integritas
    Kekayaan pejabat sering kali dipertanyakan transparansinya. Apakah benar berasal dari gaji resmi dan sumber sah, atau ada praktik korupsi, gratifikasi, maupun penyalahgunaan jabatan di baliknya?
  3. Erosi kepercayaan publik
    Flexing menurunkan citra lembaga negara. Alih-alih dipercaya, pejabat malah dianggap jauh dari realitas rakyat. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat memperburuk krisis legitimasi pemerintahan.

Perspektif Akademis: Flexing sebagai Gejala Sosial

Dari sisi sosiologi, flexing bisa dilihat sebagai strategi simbolik untuk menegaskan status sosial. Menurut teori konsumsi Thorstein Veblen (1899), praktik conspicuous consumption atau “konsumsi mencolok” dilakukan untuk menunjukkan kelas sosial seseorang. Dalam konteks pejabat, konsumsi mencolok ini bisa dimaknai sebagai upaya menegaskan dominasi dan jarak sosial antara elite dan masyarakat biasa.

Dari sisi psikologi, fenomena flexing juga bisa berkaitan dengan narcissistic tendency—dorongan untuk mendapatkan validasi sosial melalui pengakuan atas kekayaan dan prestise. Media sosial memperkuat dorongan ini karena setiap unggahan mendapatkan umpan balik berupa “likes” dan komentar.


Dampak Terhadap Tata Kelola dan Politik

Fenomena flexing pejabat tidak bisa dianggap sepele. Ia memiliki implikasi langsung terhadap tata kelola pemerintahan dan dinamika politik.

  • Mendorong audit harta kekayaan
    Kasus flexing sering berujung pada desakan agar pejabat membuka laporan harta kekayaan kepada publik. Transparansi ini penting untuk menutup celah praktik korupsi.
  • Memicu kebijakan etika publik
    Beberapa pakar menilai perlu adanya regulasi khusus terkait etika bermedia sosial bagi pejabat, agar tidak terjadi kesan pamer berlebihan.
  • Membangun tekanan politik
    Fenomena ini bisa berimbas pada partai politik. Figur pejabat yang terjebak dalam citra negatif flexing akan menurunkan elektabilitas partai pengusungnya.

Suara Masyarakat dan Media

Media arus utama dan media sosial menjadi arena perdebatan fenomena ini. Banyak warganet melabeli pejabat yang flexing dengan sebutan “sultan instan” atau “pejabat crazy rich”, sindiran yang mengandung kritik tajam.

Media investigatif juga berperan penting dalam menelusuri apakah gaya hidup mewah itu sejalan dengan data harta kekayaan yang dilaporkan ke lembaga berwenang. Dalam beberapa kasus, investigasi ini berujung pada penyelidikan resmi terhadap dugaan tindak pidana korupsi atau gratifikasi.


Jalan Tengah: Transparansi dan Kesederhanaan

Fenomena flexing pejabat memberi pelajaran penting: di era keterbukaan digital, publik sangat sensitif terhadap simbol-simbol kemewahan. Kepercayaan masyarakat dapat dengan mudah runtuh hanya karena satu unggahan di media sosial.

Untuk itu, ada dua langkah strategis:

  1. Mendorong transparansi kekayaan pejabat
    Laporan harta kekayaan yang mudah diakses publik akan mempersempit ruang kecurigaan.
  2. Menanamkan budaya kesederhanaan
    Sebagai pelayan publik, pejabat seharusnya menampilkan sikap rendah hati dan sederhana. Kesederhanaan bukan sekadar moralitas, melainkan strategi untuk membangun kepercayaan.

Kesimpulan

Flexing pada awalnya hanyalah fenomena gaya hidup di media sosial. Namun, ketika masuk ke ranah pejabat publik, ia berubah menjadi isu serius yang menyangkut etika, moral, bahkan hukum. Publik berhak geram, karena pamer kemewahan dari pejabat berlawanan dengan prinsip dasar pelayanan publik: mengutamakan kepentingan rakyat, bukan citra pribadi.

Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat akuntabilitas pejabat, memperketat regulasi, dan membangun budaya politik yang lebih sehat. Sebab, kepercayaan rakyat bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan barang mewah, melainkan dibangun melalui integritas, transparansi, dan kesederhanaan.

Exit mobile version