Bagi banyak orang tua, pengalaman membesarkan anak pertama dan kedua bisa terasa seperti siang dan malam. Anak pertama mungkin cenderung penurut, berhati-hati, dan menjadi kebanggaan karena setiap pencapaiannya adalah yang “pertama” bagi keluarga. Lalu hadirlah anak kedua. Dunianya berbeda, karakternya pun sering kali jauh dari ekspektasi.
Anda mungkin mulai memperhatikan pola: si nomor dua ini tampak lebih sering menantang aturan, lebih vokal dalam menuntut keinginan, lebih kompetitif, atau bahkan sengaja melakukan hal-hal yang menguji kesabaran. Reaksi pertama kita sebagai orang tua sering kali adalah frustrasi, yang kemudian berujung pada teguran atau amarah. “Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?” adalah kalimat yang mungkin pernah terlintas, jika tidak terucap.
Namun, sebelum Anda melabeli si anak kedua sebagai “pembuat masalah”, ada baiknya kita berhenti sejenak. Menurut para ahli psikologi anak, “ulah” mereka sering kali bukanlah kenakalan murni. Perilaku tersebut adalah sebuah bentuk komunikasi—sebuah sinyal SOS dari dunia batin mereka yang kompleks dan jarang kita selami. Jangan langsung dimarahi, mari kita pahami dulu apa yang sebenarnya terjadi di benak mereka.
Mengapa Anak Kedua Sering Terlihat ‘Berbeda’? Dunia dari Perspektif Mereka
Untuk memahami perilaku anak kedua, kita harus mencoba melihat dunia dari kacamata mereka. Posisi mereka dalam konstelasi keluarga secara fundamental berbeda dari si sulung, dan ini membentuk kepribadian mereka secara signifikan.
1. Tidak Pernah Merasakan “Takhta” Tunggal
Anak pertama setidaknya pernah merasakan periode menjadi pusat alam semesta orang tuanya. Semua perhatian, waktu, dan energi tercurah padanya. Anak kedua, sejak lahir, sudah harus berbagi. Mereka tidak pernah mengenal dunia di mana mereka adalah satu-satunya. Ini secara otomatis menempatkan mereka dalam posisi harus berjuang untuk mendapatkan porsi perhatian yang sama.
2. Hidup di Bawah Bayang-Bayang Si Sulung
Anak pertama adalah sang pionir. Ia yang pertama kali berjalan, berbicara, masuk sekolah. Setiap pencapaiannya dirayakan dengan gegap gempita dan menjadi standar bagi keluarga. Akibatnya, anak kedua sering kali hidup di bawah bayang-bayang ini. Pencapaian mereka mungkin terasa “biasa saja” karena sang kakak sudah melakukannya lebih dulu. Perbandingan, baik disengaja maupun tidak, hampir tak terhindarkan dan ini bisa menjadi beban psikologis yang berat.
3. “The Squeeze Effect”: Terjepit di Tengah
Jika ada anak ketiga, posisi anak kedua menjadi semakin rumit. Ia bukan lagi si sulung yang dipuja karena menjadi yang pertama, dan bukan pula si bungsu yang dimanja karena menjadi yang terkecil. Mereka terjepit di tengah, merasa “tidak terlihat” atau invisible. Perasaan ini bisa memicu mereka untuk melakukan tindakan ekstrem—baik positif maupun negatif—agar keberadaan mereka diakui.
4. Pencarian Identitas yang Sengit
Menurut para ahli psikologi, salah satu cara anak kedua untuk keluar dari bayang-bayang kakaknya adalah dengan membentuk identitas yang berlawanan. Jika si sulung adalah anak yang rapi, penurut, dan akademis, si kedua mungkin akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kreatif, pemberontak, dan berjiwa bebas. “Ulah” mereka sering kali merupakan bagian dari proses pencarian jati diri ini. Mereka berusaha keras menunjukkan kepada dunia, “Aku berbeda dari kakakku. Ini aku!”
Menerjemahkan “Ulah” Menjadi Sinyal Kebutuhan
Daripada melihat perilaku mereka sebagai masalah, cobalah untuk menerjemahkannya sebagai sinyal dari kebutuhan emosional yang belum terpenuhi.
- Jika ia terlihat sangat kompetitif dan selalu ingin menang: Sinyal yang ia kirimkan adalah, “Aku ingin membuktikan bahwa aku juga sama hebatnya, aku juga berharga.”
- Jika ia sengaja melanggar aturan (pencari perhatian negatif): Sinyalnya adalah, “Tolong lihat aku. Perhatian negatif pun lebih baik daripada tidak diperhatikan sama sekali.”
- Jika ia sangat sosial dan punya banyak teman di luar: Ini bisa menjadi caranya untuk membangun “kerajaan”-nya sendiri, di mana ia bisa menjadi nomor satu dan dihargai tanpa bayang-bayang saudara.
- Jika ia sangat sensitif atau mudah menangis: Sinyalnya adalah, “Aku merasa tidak adil. Aku butuh divalidasi dan dipahami perasaanku.”
Solusi Praktis: Jangan Dimarahi, tapi Dipahami dan Diberdayakan
Memahami akarnya adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya adalah mengubah respons kita sebagai orang tua. Amarah dan hukuman hanya akan memperkuat perasaan negatif mereka. Yang mereka butuhkan adalah pemahaman dan strategi yang tepat.
1. Ciptakan Waktu Eksklusif Satu Lawan Satu
Jadwalkan “kencan” rutin hanya dengan anak kedua Anda, tanpa kehadiran saudara lainnya. Lakukan aktivitas yang ia sukai. Momen ini mengirimkan pesan kuat: “Kamu sangat spesial dan penting bagiku sebagai individu.”
2. STOP Membanding-bandingkan
Buang jauh-jauh kalimat seperti, “Lihat kakakmu, dia bisa…” atau “Waktu seumuran kamu, kakakmu sudah…”. Fokuslah pada keunikan dan kekuatan anak kedua. Puji usahanya, bukan hanya hasilnya. Jika kakaknya jago matematika, dan dia jago menggambar, rayakan kedua kelebihan itu dengan porsi yang sama.
3. Beri Tanggung Jawab yang Unik
Jangan hanya memberikan tugas “bekas” kakaknya. Beri ia tanggung jawab yang spesial dan menjadi miliknya sepenuhnya. Misalnya, ia bertanggung jawab untuk menyiram tanaman hias kesayangan ibu, atau menjadi “asisten” ayah saat mencuci mobil. Ini memberinya rasa kepemilikan dan kebanggaan.
4. Dokumentasikan Perjalanan Mereka Secara Individual
Buatlah album foto atau video yang didedikasikan khusus untuknya. Pastikan Anda merayakan momen-momen pentingnya dengan antusiasme yang sama seperti Anda merayakan momen si sulung. Ini menunjukkan bahwa perjalanannya sama berharganya.
5. Validasi Perasaan Mereka
Ketika ia merasa cemburu atau marah karena merasa diperlakukan tidak adil, jangan langsung menyangkalnya dengan berkata, “Ah, perasaanmu saja.” Dengarkan, dan validasi emosinya. Ucapkan kalimat seperti, “Mama/Papa mengerti kamu pasti sedih karena…” Ini membuatnya merasa didengar dan dipahami.
Kesimpulan: Setiap Anak Adalah Bintang di Langitnya Sendiri
Anak kedua yang “berulah” bukanlah anak yang gagal atau nakal. Mereka adalah para negosiator ulung, pejuang yang ulet, yang sedang berusaha menemukan tempatnya di bawah matahari. Perilaku menantang mereka adalah buah dari posisi unik mereka dalam keluarga.
Tugas kita sebagai orang tua bukanlah untuk memadamkan api semangat mereka, melainkan mengarahkannya menjadi energi yang positif. Dengan mengganti amarah dengan empati, perbandingan dengan apresiasi, dan hukuman dengan koneksi, kita dapat membantu anak kedua kita tumbuh menjadi individu yang percaya diri, tangguh, dan menyadari betapa berharganya mereka, bukan sebagai “nomor dua”, tetapi sebagai bintang yang bersinar dengan cahayanya sendiri.